BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pemerintah
telah merumuskan ‘peningkatan daya saing’ atau competitiveness sebagai salah satu pilar visi pendidikan nasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah juga telah memperoleh alokasi
anggaran sebesar 20% dari APBN khusus untuk pendidikan. Berbagai kebijakan
untuk mendukungnya dibuat, mulai dari perangkat yuridis, Undang-Undang Guru dan
Dosen, hingga kebijakan operasional seperti sertifikasi guru, PLPG, Program
Pendidikan Guru (PPG), Dual Mode, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Ujian
Nasional. Semua kebijakan tersebut hakikatnya untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Nasional (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 4).
Sekolah dasar pada hakikatnya merupakan satuan atau unit lembaga sosial
yang diberi amanah atau tugas khusus oleh masyarakat untuk menyelenggarakan
pendidikan dasar secara sistematis. Secara teknis pendidikan sekolah dasar
dapat pula didefinisikan sebagai proses membimbing, mengajar dan melatih
peserta didik yang berusia 6 – 13 tahun untuk memiliki kemampuan dasar dalam
aspek intelektual, sosial dan personal yang terintegrasi dan sesuai dengan
karakteristik perkembangannya.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tidaklah terlepas dari
perubahan yang ada dalam pendidikan karena pendidikan merupakan salah satu
wahana untuk meningkatkan sumber daya manusia. Untuk itu pemerintah selalu
berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan. Untuk mencapai keberhasilan
dalam dunia pendidikan, maka keterpaduan antara kegiatan guru dengan kegiatan
siswa sangat diperlukan. Oleh karena itu guru diharapkan mampu mengatur,
mengarahkan dan menciptakan suasana yang mampu memotivasi siswa
untuk belajar. Karena guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu
pendidikan (http://www.scribd.com/doc/32572137/6-Role-Playing).
Pendidikan adalah suatu proses dalam langkah mempengaruhi
peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan
lingkungannya dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang
memungkinkannya untuk berfungsi secara kuat, aktif dan tanggap dalam kehidupan
bermasyarakat. Pendidikan
merupakan kata kunci untuk memajukan dan meningkatkan kecerdasan bangsa.
Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan.
Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri,
pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia
yang berkualitas dan pembangunan sektor ekonomi yang satu dengan lainnya saling
berkaitan dan berlangsung dengan berbarengan, termasuk di dalamnya pendidikan bahasa Indonesia (Hamalik 2008).
Pengajaran
adalah perpaduan dari dua aktivitas, yaitu aktivitas mengajar dan aktivitas
belajar. Belajar aktif ditafsirkan sebagai usaha membangun pengetahuan dalam
diri siswa. Dalam proses pembelajaran terjadi perubahan dan peningkatan mutu
kemampuan, pengetahuan dan keterampilan siswa baik dalam ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik.
Tenaga kependidikan merupakan suatu komponen yang penting
dalam penyelenggaraan pendidikan yang bertugas menyelenggarakan kegiatan
belajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan memberikan pelayanan
teknis dalam bidang pendidikan (Hamalik, 2008:
9).
Peserta didik merupakan suatu komponen masukan dalam
sistem pendidikan yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan sehingga
menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
sebagai suatu komponen pendidikan, peserta didik dapat ditinjau dari berbagai
pendekatan antara lain pendekatan sosial, pendekatan psikologis dan pendekatan
edukatif. Bagi peserta
didik, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi dan bahasa pengantar di sekolah.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan tidak dapat berhasil dengan
maksimal tanpa didukung oleh adanya peningkatan kualitas pembelajaran. Peluang
yang dibawa KTSP memberikan keleluasaan kepada guru sebagai pengembang
kurikulum dalam tatanan kelas juga belum dapat dimanfaatkan secara optimal,
karena keterbatasan kemampuan guru. Keterbatasan kemampuan guru akan berdampak
pada munculnya sikap intuitif dan spekulatif dalam menggunakan strategi
pembelajaran. Kondisi ini berakibat pada rendahnya mutu hasil belajar. Salah
satu cara yang dapat dilakukan dengan kondisi yang kurang menguntungkan itu
tidak berkelanjutan dan berkembang lebih jauh adalah dengan memberikan persepsi
mengenai metode pembelajaran yang dipandang kondusif dapat meningkatkan
efektivitas pembelajaran (http://www.scribd.com/doc/32572137/6-Role-Playing).
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberi
peluang kepada pihak sekolah
dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai
pengembangan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dibanding dengan kurikulum yang diberlakukan sebelumnya
KTSP lebih bersifat fleksibel.
Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menekankan pada
pendekatan proses dan bukan pemaksaan pencapaian materi, akan tetapi pendalaman
materi melalui proses. Oleh sebab itu, pembelajaran yang dilaksanakan adalah
melibatkan aktivitas siswa.
Pada hakikatnya proses belajar mengajar pada adalah suatu kegiatan
antara guru dan siswa dan komunikasi timbal balik yang
berlangsung dalam suasana yang edukatif untuk mencapai
tujuan belajar. Interaksi dan komunikasi timbal balik antara guru dan siswa
merupakan ciri dan syarat utama berlangsungnya proses belajar mengajar tidak
sekedar hubungan komunikasi antara guru dan siswa tetapi juga antar siswa yang
merupakan interaksi yang edukatif. Tidak hanya dalam hal materi pelajaran
melainkan dalam hal penanaman sikap dan nilai pada diri siswa (Nuryani,2005).
Lebih Lanjut Sagala, 2006 mengatakan bahwa mengajar adalah mengorganisasikan aktivitas
siswa dalam arti yang luas. Dengan demikian peranan guru bukan semata-mata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan
memberikan fasilitas belajar (directing and facilitating the learning) http://www.scribd.com/doc/32572137/6-Role-Playing.
Bahasa
Indonesia memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional
peserta didik merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang
studi. Bahasa Indonesia berperan sebagai alat untuk mempersatukan keberagaman
bahasa, adat istiadat, suku dan budaya.
Pembelajaran
bahasa Indonesia diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya
sendiri dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi
dalam masyarakat dan menemukan serta menggunakan kemampuan analisis dan
imajinasi yang ada dalam dirinya (Badan Standar Nasional, 2006: 1) dalam
(Zarkony, 2011).
Dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
lambang kebanggaan kebangsaan, lambang identitas nasional, alat memungkinkan
penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan
bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia dan alat
perhubungan antar daerah dan antar budaya, namun demikian masih ada peserta
didik yang belum memahami hal ini dengan baik, mereka kadang-kadang bingung
bagaimana cara untuk mengungkapkan keinginannya dan tidak tau bagaimana cara berkomunikasi dengan
baik sehingga orang lain mengerti apa yang ingin dia sampaikan.
Selain
berkedudukan sebagai bahasa bahasa nasional, bahasa Indonesia dalam UUD 1945
bab XV, pasal 36 ditetapkan pula sebagai bahasa negara. Dalam kedudukannya
sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia di antaranya berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi (Faisal, 2009: 3-22).
Dalam kehidupan sehari-hari
tentunya kita melakukan berbagai kegiatan. Orang yang
berasal dari suku Banjar, Sunda, Jawa, Batak, Minang, Bugis dan Dayak kalau ke Bali tidak harus
menggunakan bahasa Bali, bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa
Melayu ini dapat memudahkan
kita untuk bergaul dan berkomunikasi
dengan teman-teman di daerah lain. Dapat
dibayangkan apabila kita tidak memiliki kemampuan berbahasa kita tidak dapat mengungkapkan pikiran tidak dapat mengekspresikan
perasaan dan tidak dapat melaporkan fakta yang kita amati dalam kehidupan
sehari-hari, untuk
mengembangkan kecakapan berbahasa ini dapat dilakukan melalui pendidikan.
Mempelajari bahasa Indonesia dengan baik akan
memudahkan kamu menerima
informasi (Hamalik, 2008: 7).
Pembelajaran bahasa Indonesia merupakan
pembelajaran yang menarik. Pembelajaran
Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik agar
dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Keterampilan
berbahasa mempunyai empat komponen yaitu, keterampilan menyimak (listening
skill), keterampilan berbicara (speaking skill), keterampilan membaca (reading
skill), keterampilan menulis (writing skill).
Keterampilan
berbicara merupakan salah salah satu keterampilan yang harus dikuasai siswa
Sekolah Dasar. (Tarigan, 2006: 13)
mengemukakan berbicara merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan
untuk berkomunikasi langsung secara tatap muka dengan orang lain.
Ada
perbedaan antara berbahasa dan berbicara, bahasa mencakup berbagai bentuk
komunikasi, baik diutarakan dalam bentuk lisan maupun tertulis, serta ada juga
yang disebut dengan bahasa ibu bahasa isyarat dan sebagainya. Sedangkan bicara
adalah bahasa lisan dimana seseorang menyampaikan kepada orang lain untuk
berkomunikasi dan berbicara ini bentuk komunikasi yang paling efektif
(Suriansyah, 2009: 53).
Menurut
Bygate, Tarigan (2008: 26) berpendapat bahwa dalam berbicara seseorang harus
mempunyai pengetahuan keterampilan perspektif motorik dan keterampilan
interaktif, maka agar dapat berbicara dengan baik, seseorang harus kompetensi
kebahasaan yang memadai serta unsur-unsur yang menjadi syarat agar proses
berbicaranya dapat lancar, baik dan benar Diantaranya adalah lafal, intonasi,
ejaan, kosa kata dan sebagainya.
Bahasa
Indonesia memang diajarkan sejak anak-anak, tetapi model pengajaran yang baik
dan benar tidak banyak dilakukan oleh seorang pangajar. Metode pengajaran
bahasa Indonesia tidak dapat menggunakan satu metode karena Bahasa Indonesia
sendiri yang bersifat dinamis. Pada pembelajaran bahasa Indonesia ditingkat
sekolah dasar sangat mengandalkan penggunakan metode-metode yang aplikatif dan
menarik.
Sementara itu,
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti kali ini dilaksanakan pada siswa
kelas V SDN Kuin Selatan 5
Banjarmasin. Dipilihnya siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin karena sesuai dengan kriteria SD yang
dibutuhkan oleh peneliti, peneliti secara tulus ikhlas memberikan sumbangan pengetahuan yang dimiliki tentang berbahasa
Indonesia khususnya mengenai keterampilan berbicara
melalui bermain peran atau Role
Playing, dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan. Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin juga di karenakan di sekolah ini peneliti dapat melakukan penelitian secara terpadu konsekuen dan diharapkan dapat
menambah pengalaman juga wawasan untuk peneliti.
Proses
pembelajaran di kelas V SD, dilihat dari keempat aspek berbahasa, siswa
cenderung lemah pada aspek berbicara. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil
latihan-latihan siswa ketika pembelajaran berlangsung. Siswa cenderung
mengalami kesulitan dalam mengembangkan keterampilan berbicara karena kurangnya
latihan, sehingga siswa tidak terbiasa dalam keterampilan berbicara yang baik,
seperti susunan kalimat yang diucapkan sering tidak padu, penggunaan bahasa Indonesia
yang benar terabaikan dan sering keluar bahasa daerah (Khairullah 2011: 2).
Anak
SD pada masa sekarang khususnya siswa kelas V SD diharapkan mampu berbicara bahasa
Indonesia dengan baik dan benar. Keterampilan berbicara di SD merupakan inti
dari proses pembelajaran bahasa di sekolah karena dengan pembelajaran berbicara
siswa dapat berkomunikasi di dalam maupun di luar kelas sesuai dengan
perkembangan jiwanya.
Tarigan
(2008: 10) belajar bahasa adalah untuk membangun kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa tersebut baik lisan dan tulisan. Menurut Zulkifli (2009: 8)
bahasa lisan adalah bahasa secara langsung keluar dari seseorang, ada lawan
bicaranya. Lawan bicara bisa langsung berhadapan fisik, bisa pula secara tidak
langsung, melalui radio atau tv.
Berdasarkan
data yang diperoleh peneliti dari wali kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin pada
semester 1 yang lalu Tahun Ajaran 2011/2012 hasil belajar siswa pada materi
berbicara berada di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) dengan rata-rata
63,70 dari 27 siswa yang dapat memenuhi nilai standar hanya 33% dan sisanya 67%
berada di bawah indikator ketuntasan belajar yang diterapkan sekolah yaitu 70.
Berdasarkan
pengamatan peneliti penyebab terjadinya masalah tersebut adalah model dan juga metode
pembelajaran guru yang kurang variatif dan membosankan karena hanya melalui
penerangan dan penuturan lisan atau metode ceramah saja, guru kurang mampu
memanfaatkan media pembelajaran, guru kurang memotivasi siswa kemudian selama
PBM berlangsung siswa tidak menunjukan minat dalam belajar mengenai
keterampilan berbicara, siswa tidak menguasai unsur-unsur dalam keterampilan
berbicara, siswa kurang serius dalam belajar sehingga hasil belajar siswa
rendah. Untuk mengatasinya dapat dilakukan penelitian tindakan kelas PTK.
Menurut Elliot (Wiraatmaja, 2006: 12) bahwa penelitian tindakan kelas dapat
dilihat sebagai kajian dari sebuah situasi sosial dengan memungkinkan tindakan
untuk memperbaiki kualitas sosial tersebut. Melalui pembelajaran aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM) salah satunya menggunakan pendekatan
pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin (2007)
pembelajaran kooperatif menggalakkan siswa berinteraksi secara aktif dan
positif dalam kelompok.
Pendekatan
pembelajaran kooperatif yang digunakan peneliti adalah tipe Role Playing. Menurut Sumoatmodjo dan
Nursid (2005: 44) Role Playing (Bermain Peran) sebagai satu atau teknik sungguh besar
peranannya, sebab dengan teknik ini disamping pengangkatan suatu keadaan atau
kejadian ke dalam ruang kelas juga sebagai perasaan, keadaan dan perbuatan dari
pada hal tersebut akan turut dirasakan atau dialami oleh siswa sebagai
pelakunya.
Role Playing atau bermain peran akan sangat menyenangkan
jika dilakukan bersama teman. Bermain peran disebut juga sosiodrama. Sosiodrama
pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah
sosial (Djamarah, dan Zain, 2006: 100) dalam Khairullah, 2011: 12). Sebelum bermain peran harus menghayati dulu sifat dan karakter tokoh-tokohnya
dengan membaca dan mencermati teks skenario
atau naskah tersebut dengan baik dan lancar.
Peran
guru dalam pengajaran keterampilan berbicara sangat penting dan perlu adanya
pemikiran kreativitas guru dan kebijakan guru dalam melayani siswa pada saat
kegiatan belajar mengajar berlangsung, guru perlu menciptakan berbagai
pengalaman belajar berbicara agar siswa dapat berlatih berbicara.
Role Playing adalah teknik yang luar biasa bermanfaat untuk mewujudkan
kehidupan nyata di dalam kelas. Bermain peran akan membangkitkan minat siswa
terhadap materi yang diajarkan dan memacu siswa untuk memandang suatu
permasalahan dari sudut yang berbeda. Oleh karena siswa dilibatkan sepenuhnya
dalam pembelajaran, maka teknik ini mengembangkan dimensi emosi, psikomotor dan
kognisi siswa.
Dalam pelaksanaan Role Playing,
siswa dapat berekspresi dengan bebas karena tidak akan dipusingkan dengan satu
jawaban tunggal yang benar. Kesalahan yang dilakukan siswa justru akan memicu
mereka untuk berani mengambil risiko dan bereksperimen. Kreativitas siswa dapat
dilepaskan melalui kegiatan bermain peran.
Bermain peran memberikan kemungkinan kepada para siswa
untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tak dapat mereka kenali
tanpa bercermin kepada orang lain. Penggunaan model pembelajaran role-playing
dimaksudkan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Melalui Role Playing ini diharapkan muncul kreativitas, daya
pikir dan daya khayal dari siswa disamping itu siswa juga diharapkan mampu
menikmati dan memperluas wawasan kehidupan serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa khususnya
dalam aspek keterampilan berbicara.
Nah
berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tindakan kelas yang berjudul : ’’Meningkatkan Keterampilan
Berbicara Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Role Playing Siswa Kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin Tahun Ajaran 2011/2012”.
B.
Rumusan
Masalah dan Rencana Pemecahan Masalah
1.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini
adalah:
a) Apakah
dengan menggunakan pendekatan kooperatif
tipe role playing dapat meningkatkan aktivitas guru terhadap pembelajaran
bahasa Indonesia pada materi berbicara siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5
Banjarmasin ?
b) Apakah
dengan menggunakan pendekatan kooperatif
tipe role playing dapat meningkatkan aktivitas siswa terhadap pembelajaran
bahasa Indonesia pada materi berbicara siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5
Banjarmasin ?
c) Apakah
dengan menggunakan pendekatan kooperatif
tipe role playing dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan siswa
kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin terhadap pembelajaran bahasa Indonesia
pada materi berbicara ?
2. Rencana Pemecahan Masalah
Dalam
rangka meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin
pada materi keterampilan berbicara pendekatan kooperatif tipe Role Playing sangat tepat digunakan
karena siswa dapat terlibat dan aktif secara langsung sehingga dapat
berpengaruh positif bagi hasil belajar yang diperolehnya.
Taniredja
dkk (2011: 107) langkah-langkah Role Playing sebagai berikut :
1.
Guru
menyusun atau menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.
2.
Menunjuk
beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu.
beberapa hari sebelum kbm.
3.
Membentuk
kelompok siswa yang anggotanya 5 orang.
4.
Memberikan
penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.
5.
Memanggil
para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan
skenario yang sudah dipersiapkan.
6.
Masing-masing
siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.
7.
Setelah
selesai ditampilkan masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas
penampilan masing-masing kelompok.
8.
Masing-masing
kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.
9.
Guru
memberikan kesimpulan secara umum.
10. Evaluasi.
11. Penutup.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di
atas, tujuan dari penelitian ini adalah:
a) Untuk
mengetahui aktivitas guru terhadap pembelajaran bahasa
Indonesia dalam rangka peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas V SDN
Kuin Selatan 5 Banjarmasin dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe role playing.
b)
Untuk mengetahui aktivitas siswa kelas V SDN
Kuin Selatan 5 Banjarmasin terhadap pembelajaran bahasa Indonesia pada materi
berbicara dengan menggunakan pendekatan
kooperatif tipe role playing.
c)
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas V
SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada materi
keterampilan berbicara.
D.
Manfaat
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perorangan maupun institusi di bawah ini :
1.
Bagi Guru
Meningkatkan
interaksi dan profesionalisme guru, memperoleh data tentang hasil pembelajaran siswa. Sebagai
bahan informasi ilmiah tentang metode pembelajaran dengan pendekatan
pembelajaran kooperatif Role Playing dan dapat diterapkan sebagai salah satu metode yang dapat membantu guru dalam membelajarkan
siswa akan konsep-konsep bahasa Indonesia sehingga dengan mudah memahami konsep
tersebut dengan baik.
2.
Bagi Siswa
Dapat
merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar, memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka
dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok,
meningkatkan kemampuan siswa dalam memainkan peran untuk memahami karakter
tokoh yang ada pada drama pendek, meningkatkan
perhatian dan pemahaman siswa pada pelajaran bahasa Indonesia sehingga
dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa.
3.
Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang
signifikan bagi inovasi sekolah dalam rangka menigkatkan mutu pembelajaran dan juga akan memberikan sumbangan bagi sekolah
tentang variasi model pembelajaran dan dapat membantu tanggung jawab sekolah dalam
memperlancar pelaksanaan kurikulum.
4.
Bagi
Peneliti
Demi
tercapainya pendidikan yang diharapkan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagai
informasi dan dokumentasi yang dapat dijadikan
landasan untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Pengertian belajar
Ada beberapa defenisi tentang belajar oleh beberapa
ahli antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Cronbach memberikan definisi :Learning is shown by a
change in behavior as a result of experience. Belajar adalah perubahan
tingkah laku dari hasil pengalaman.
b.
Harold Spears memberikan batasan: Learning is to
observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow
direction. Belajar adalah dilakukan dengan mengamati, membaca, meniru,
mencoba, mendengarkan, mengkuti petunjuk dan pengarahan.
c.
Geoch, mengatakan: Learning is a change in
performance as a result of practice. Belajar adalah merubah penampilan
sebagai hasil praktik.
Dari ketiga definisi di atas dapat diterangkan bahwa
belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan
serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru
dan lain sebagainya (Sardiman dalam Aminudin, 2011: 13).
Belajar adalah suatu aktivitas yang sengaja dilakukan
oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri, dengan belajar anak yang
tadinya tidak mampu melakukan sesuatu, menjadi mampu melakukan sesuatu itu,
atau anak yang tadinya tidak terampil menjadi terampil.
Gaya belajar field
defendant artinya dipengaruhi oleh lingkungan atau bergantung pada
lingkungan dan field independent
artinya tidak atau kurang dipengaruhi oleh lingkungan, belajar dianggap
berhasil apabila telah sanggup menerapkan ke dalam bidang praktik sehari-hari.
dalam pengertian lain Gagne (1984) dalam Sagala (2009) mendefinisikan belajar
adalah suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman
(Siddiq dkk dalam Aminudin, 2011: 14).
Di dalam buku kapita selekta pembelajaran yang
diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan yang bekerja sama
dengan Unlam (2007: 23-28) menyebutkan teori yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia di sekolah dasar diantaranya teori behaviorisme yang mengungkapkan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku
sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons sedangkan
menurut teori kontstruktivisme
belajar merupakan hubungan timbal balik antara belajar sebagai proses pembentukan
pengalaman secara empirik dan proses pembentukan konsep secara rasional dalam
menghasilkan pemahaman menjadi prinsip dasar.
Defenisi
belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil dari
pengalaman. Secara praktis dan diasosiasikan sebagai proses memperoleh
informasi yang telah dia dapat sehingga dapat membentuk suatu karakter di dalam
diri. Menurut Kupferman (1981) belajar adalah proses dimana manusia dan
binatang menyesuaikan tingkah lakunya sebagai hasil dari pengalaman (Widiatmoko
dalam Aminudin, 2011: 14).
Jerome Brunner (Romberg & Kaput) belajar adalah
suatu proses aktif dimana siswa membangun (meng-konstruk) pengetahuan baru
berdasarkan pada pengalaman/pengetahuan yang sudah dimilikinya (Thohari dalam Aminudin,
2011: 14).
Eggen dan Kauchak dalam Abimanyu mengemukakan pendapat
Aliran Ilmu Jiwa Tingkah Laku tentang belajar sebagai perubahan tingkah laku
yang dapat diobservasi sebagai hasil dari pengalaman (Aminudin, 2011: 14).
Hudojo dalam Karmawati mengemukakan bahwa seseorang
dikatakan belajar bila diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses
kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku (Aminudin, 2011: 14).
Selanjutnya Hudoyo dalam Arbiki mengemukakan bahwa
belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman atau
pengetahuan baru sehingga timbul perubahan tingkah laku, misalnya setelah
belajar seseorang mampu mendemonstrasikan dan keterampilan dimana sebelumnya siswa
tidak dapat melakukannya (Aminudin, 2011: 14).
Pendapat serupa dikemukakan Hamalik dalam Arbiki bahwa
belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan dalam diri siswa yang nyata serta
latihan yang kontinu, perubahan dari tidak tahu menjadi tahu (Aminudin, 2011:
15)
Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang bersifat positif
dalam diri seseorang. Perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh belajar
dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, misalnya bertambahnya pengetahuan,
pemahaman, keterampilan dan perubahan sikap (Aminudin, 2011: 15).
2.
Prinsip-Prinsip
Belajar
Prinsip-prinsip dalam belajar Dimyanti dan Mudjiono
dalam Aminudin (2011: 15) diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Perhatian
dan motivasi
Perhatian dan motivasi mempunyai peranan yang penting
dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi
terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar. Sedangkan
motivasi adalah tenaga yang menggerakkan aktivitas seseorang. Motivasi dapat
dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil.
b. Keaktifan
Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif
mengalami sendiri. Menurut John Dewey misalnya mengemukakan, bahwa belajar
menyangkut apa yang harus dikerjakan mahasiswa untuk dirinya, maka inisiatif harus datang dari siswa
sendiri.
c. Keterlibatan
langsung/berpengalaman
Belajar harus dilakukan sendiri/mengalami sendiri
tanpa dilimpahkan ke orang lain. Menurut Edgar Dale dalam pengalamannya
mengemukakan bahwa belajar yang paling baik
adalah belajar melalui pengalaman langsung.
d.
Pengulangan
Prinsip belajar yang
menekankan perlunya pengulangan dikemukakan oleh teori Psikologi Daya
dan menurut teori ini belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia
yang terdiri atas daya pengamat, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir
dan sebagainya.
Menurut Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons dan pengulangan terhadap
pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons yang benar.
e. Tantangan
Teori
Medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi
belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi
belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu
terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka muncullah motif untuk mengatasi hambatan itu
yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu dapat
diatasi berarti tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru,
tujuan baru dan seterusnya.
f. Balikan
dan penguatan
Menurut Thorndike, siswa akan belajar
lebih bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil
belajar yang baik akan, akan merupakan balikan yang menyenangkan dan
berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya. Namun dorongan belajar itu
menurut B.F. Skiner tidak saja oleh penguatan yang menyenangkan tetapi juga
yang tidak menyenangkan, atau dengan kata lain penguatan positif maupun negatif
dapat memperkuat belajar.
g.
Perbedaan individual
Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada
dua orang yang sama persis, setiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang
lainnya.
3. Hakekat Hasil Belajar
Menurut Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari
proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun
secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Dari
definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan hasil belajar adalah akibat yang
diperoleh setelah melakukan aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungannya, sehingga ada perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap (Aminudin, 2011: 17-18).
4. Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil
Belajar
Menurut
Depdiknas ”Hasil belajar (prestasi belajar) siswa yang diharapkan adalah
kemampuan yang utuh yang mencakup kemampuan kognitif, kemampuan psikomotor dan
kemampuan afektif atau perilaku”. Sedangkan menurut Surya dalam Tarmizi mengemukakan
bahwa prestasi belajar ialah sesuatu yang dicapai oleh peserta didik sebagai
perilaku belajar yang berupa hasil belajar yang berbentuk perubahan pada pengetahuan,
sikap dan keterampilan. Prestasi belajar peserta didik ini biasanya dinyatakan
dalam bentuk nilai atau angka. Sedangkan faktor yang mempengaruhi hasil belajar
yaitu: kecerdasan, usaha, bimbingan belajar, teman sebaya dan waktu yang cukup
untuk belajar (Aminudin, 2011:
18).
Nasution
dalam Tarmizi mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi perbuatan dan hasil
belajar antara lain: bakat, mutu pengajaran, kesanggupan untuk memahami
pengajaran, ketekunan, waktu yang tersedia untuk belajar (Aminudin,
2011: 18).
Menurut
Yunanto dalam Tarmizi pada dasarnya melakukan kegiatan belajar di sekolah dan
di rumah tidak banyak berbeda. Di rumah orang tua, pengasuh anak, orang dewasa
yang sedang mendampingi anak perlu menggunakan prinsip-prinsip dalam kegiatan
belajar mengajar agar dapat mendukung kegiatan belajar, yaitu:
a.
Anak perlu
diperhatikan. Perhatian merupakan kunci keberhasilan kegiatan belajar anak.
b. Pada dasarnya anak mengalami tumbuh
kembang yang unik. Kegiatan belajar yang dilakukan harus disesuaikan dengan
tumbuh kembang anak yang sedang terjadi.
c. Fasilitas belajar sebaiknya disediakan
dalam ruangan khusus.
d. Waktu kegiatan belajar di rumah bisa lebih
longgar (Aminudin, 2011: 19).
Roestiyah dalam Aminudin (2011: 19) menjelaskan
bahwa dua faktor penghambat proses belajar mengajar dapat berpengaruh pada
proses belajar peserta didik. Adapun dua faktor tersebut adalah faktor internal
dan eksternal. Lebih lanjut Roestiyah menjelaskan pengertian dua faktor
internal dan eksternal adalah berikut ini:
a.
Faktor
internal, ialah faktor yang timbul dari dalam diri anak itu sendiri, seperti kesehatan,
rasa aman, kemampuan, minat dan sebagainya.
b.
Faktor
eksternal, ialah faktor yang datang dari luar si anak, seperti kebersihan
rumah, udara yang panas, lingkungan dan sebagainya.
Pada faktor
internal, hal yang dapat mempengaruhi belajar peserta didik adalah bersumber
dari dalam dirinya seperti masalah kesehatan, kemampuan, rasa aman dan berbagai
kebutuhanya. Apabila peserta didik yang merasa belajarnya kurang sehat, tidak
aman, kemampuan belajarnya rendah, kurang motivasi dalam belajar dan sebagainya
maka sudah tentu kelancaran atau kelangsungan belajar dijalankan akan
terhambat/terganggu, mungkin terhalang sama sekali.
Hal-hal yang dapat
mempengaruhi belajar pada peserta didik dapat bersumber dari luar dirinya
(faktor eksternal) seperti: masalah kebersihan, udara yang panas dan lingkungan
yang kurang mendukung dalam aktivitas belajar. Secara khusus faktor lingkungan
yang dapat mempengaruhi kelancaran dan kelangsungan belajar peserta didik,
dapat dibedakan dalam beberapa aspek.
5.
Karakteristik
Bahan Pembelajaran SD
Pembelajaran di sekolah dasar mempunyai karakteristik
yang sangat berbeda dengan pembelajaran di sekolah menengah. Hal ini disebabkan
karena karakteristik siswa SD berbeda dengan sekolah menengah. Secara
institusional tujuan pembelajaran di sekolah dasar lebih ke arah pengembangan
potensi dasar para siswa SD, karena potensi dasar ini sangat diperlukan untuk
belajar dan pembelajaran pada tingkat pendidikan selanjutnya. Apabila belajar
dan pembelajaran di SD tidak dilaksanakan sebagai mana mestinya sehingga
potensi dasar tidak berkembang dikhawatirkan menjadi penghambat bagi perkembangan
siswa selanjutnya, khususnya dalam mengikuti program-program belajar dan
pembelajaran di sekolah menengah dan perguruan tinggi (Aminudin, 2011: 20).
Menurut Dirjen Dikti Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia (Pengembangan Bahan Pembelajaran SD:2009:2-14-2-15) (Aminudin, 2011: 21) pembelajaran
di SD harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa SD, alasannya adalah:
Pertama,
tingkat kemampuan berpikir siswa SD baru pada taraf operasional konkrit.
Artinya pada periode ini siswa akan lebih mudah belajar bila menggunakan bahan-bahan
pembelajaran yang konkrit dan pada tingkat perkembangan ini menghendaki agar
pembelajaran di SD menyajikan materi pelajaran dengan menggunakan benda-benda
nyata.
Kedua, perkembangan
proses berpikir siswa SD adalah tingkat perkembangan proses berpikir
mekanistis. Untuk mencapai kemampuan berpikir logis anak harus melalui proses
berpikir mekanistis terlebih dahulu, yaitu anak berpikir dengan cara mengingat
dan menghafal menuju cara berpikir logis/pemahaman. Oleh sebab itu bahan
pembelajaran di SD harus lebih menyajikan bahan sajian yang mudah dipelajari
oleh siswa. Misalnya untuk SD kelas rendah perlu ditampilkan alat peraga dalam
bentuk benda-benda konkrit yang mudah dihapal.
Untuk kelas tinggi dapat menggunkan bahan
pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir logis seperti media cetak sederhana, LKS, media grafis
sederhana dan sebagainya.
Ketiga, siswa
SD pada usia bermain. Artinya bahwa siswa sekolah dasar lebih tertarik kepada hal-hal
yang bersifat permainan dan sesuatu yang menyenangkan.
Berdasarkan
alasan-alasan tersebut, maka bahan pembelajaran SD hendaknya memiliki
karakteristik bahan pembelajaran sebagaimana bahan pembelajaran pada umumnya
tapi memperhatikan karakteristik siswa SD seperti:
a.
Bahan pembelajaran SD hendaknya memiliki karakteristik
dapat membelajarkan sendiri para siswa (self instructional) artinya
bahan pembelajaran SD mempunyai kemampuan sejelas-jelasnya semua bahan yang
termuat di dalamnya dan diperlukan bagi pembelajaran siswa SD.
b.
Bahan pembelajaran bersifat lengkap, sehingga memungkinkan siswa tidak
perlu lagi mencari sumber bahan lain dan diharapkan bahan dapat digunakan untuk
pembelajaran-pembelajaran selanjutnya.
c.
Bahan pembelajaran bersikap fleksibel, dapat digunakan
baik untuk belajar klasikal, kelompok, mandiri, praktis, mudah didapatkan dan
dapat menarik minat siswa dalam belajar.
6.
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia yaitu
sebagai sarana komunikasi, hal tersebut terjadi karena sebagai makhluk sosial,
makluk yang hidup berdampingan dengan manusia lain, manusia selalu
berkomunikasi dengan orang lain sebagai wujud interaksi.
Belajar bahasa hakikatnya
adalah belajar menggunakan bahasa sesuai dengan sistem dan kaidah sosialnya,
serta belajar menggunakan bahasa sebagai aktivitas individual sesuai dengan
tujuan, fungsi dan ragam tuturannya (Romanti, 2012: 18).
Belajar bahasa adalah
untuk membangun kemampuan berkomunikasi, dengan menggunakan bahasa tersebut
baik lisan dan tulisan. Belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi (Tarigan,
2008: 10).
Bahasa lisan adalah bahasa yang secara
langsung keluar dari seseorang, ada lawan bicaranya. Lawan bicara bisa langsung
berhadapan secara fisik, bisa pula secara tidak langsung, melalui radio atau
televisi (Zulkifli, 2009: 8).
Kemampuan berkomunikasi
lisan mencakup keterampilan berbicara dan mendengarkan atau menyimak. Kemampuan
berkomunikasi tulis meliputi membaca dan menulis. Kemampuan berbicara dan
menulis termasuk kategori kemampuan produktif. Artinya peserta didik
menghasilkan sesuatu yaitu ungkapan lisan (pada saat berbicara) dan tulisan
atau karangan (pada saat menulis karangan). Sedangkan kemampuan mendengarkan
atau menyimak dan membaca termasuk kelompok kemampuan reseptif, artinya peserta
didik hanya menerima dan memahami ungkapan lisan orang lain saat mendengarkan
atau menyimak atau ungkapan tulisan orang lain pada saat membaca (Sukardi dkk
dalam Zarkony, 2011).
Kemampuan berbahasa sebenarnya kemampuan yang dapat
dipelajari dan ditingkatkan karena bahasa itu sendiri telah memiliki sistem
tertentu. Secara praktis, kemampuan berbahasa meliputi empat macam.
Keempat macam kemampuan (juga disebut keterampilan) berbahasa
tersebut adalah sebagai berikut: (1) kemampuan mendengarkan atau menyimak, (2)
kemampuan berbicara, (3) kemampuan membaca, dan (4) kemampuan menulis. Salah
satu kemampuan berbahasa yang sangat perlu dikuasai oleh seseorang adalah kemampuan
berbicara, menurut Zulkifli (2009: 4) istilah kemampuan berbicara disamakan
saja dengan istilah keterampilan berbicara.
Pembelajaran bahasa Indonesia mencakup empat keterampilan berbahasa
yaitu keterampilan mendengarkan/menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Setiap keterampilan itu erat
sekali berhubungan dengan tiga keterampilan lainnya dengan cara yang
beraneka-ragam. Dalam memperoleh keterampilan berbahasa, biasanya kita melalui
suatu hubungan urutan yang tertatur: mula-mula pada masa kecil kita belajar
menyimak bahasa, kemudian berbicara, sesudah itu kita belajar membaca dan
menulis. Menyimak dan berbicara kita pelajari sebelum memasuki sekolah. Keempat
keterampilan tersebut pada dasarnya merupakan suatu kesatuan, Selanjutnya
setiap keterampilan itu erat pula berhubungan dengan proses-proses berpikir
yang mendasari bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin
terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya.
Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan banyak
latihan. Melatih berbahasa berarti pula melatih keterampilan dalam berpikir.
(a) Hubungan Berbicara dengan Menyimak
Berbicara dan
menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda namun berkaitan erat dan tak
terpisahkan. Kegiatan menyimak didahului oleh kegiatan berbicara. Kegiatan
berbicara dan menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi lisan,
seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya-jawab, interview dan
sebagainya.
Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi,
tidak ada gunanya orang berbicara bila tidak ada orang yang menyimak. Tidak
mungkin orang menyimak bila tidak ada orang yang berbicara. Melalui kegiatan
menyimak siswa mengenal ucapan kata, struktur kata dan struktur kalimat.
(b) Hubungan Berbicara
dengan Membaca
Berbicara dan membaca berbeda dalam sifat, sarana dan
fungsi. Berbicara bersifat produktif, ekspresif melalui sarana bahasa lisan dan
berfungsi sebagai penyebar informasi. Membaca bersifat reseptif melalui sarana
bahasa tulis dan berfungsi sebagai penerima informasi.
Bahan pembicaraan sebagian besar didapat melalui
kegiatan membaca. Semakin sering orang membaca semakin banyak informasi yang
diperolehnya. Hal ini merupakan pendorong bagi yang bersangkutan untuk
mengekspresikan kembali informasi yang telah diperolehnya antara lain melalui
berbicara.
(c) Hubungan
Berbicara dengan Menulis
Kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis bersifat
produktif-ekspresif. Kedua kegiatan itu berfungsi sebagai penyampai informasi.
Penyampaian informasi melalui kegiatan berbicara disalurkan melalui
bahasa lisan, sedangkan penyampaian informasi dalam kegiatan menulis
disalurkan melalui bahasa tulis.
Informasi yang digunakan dalam berbicara dan menulis
diperoleh mealui kegiatan menyimak ataupun membaca. Keterampilan menggunakan
kaidah kebahasaan dalam kegiatan berbicara menunjang keterampilan menulis.
Keterampilan menggunakan kaidah kebahasaan menunjang keterampilan berbicara.
7. Berbicara
A. Pengertian Berbicara
Berbicara
merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyian artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan (Tarigan dalam Khairullah, 2011: 7).
Berbicara adalah penyampaian informasi dari pembicara kepada
pendengar dengan tujuan terjadi perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan
pendengar sebagai akibat dari informasi yang diterimanya. Keterampilan
berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan perasaan
kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun
dengan jarak jauh (Jailani, 2011: 40)
Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang
berkembang pada keterampilan anak, yang didahului oleh keterampilan menyimak
dan pada masa itu lah kemampuan berbicara dipelajari. Keterampilan
berbicara menunjang keterampilan bahasa lainnya. Pembicara yang baik mampu
memberikan contoh agar dapat ditiru oleh penyimak yang baik. Pembicara yang baik
mampu memudahkan penyimak untuk menangkap pembicaraan yang disampaikan.
Berbicara
merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible)
yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan
tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara merupakan
suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis,
neurologis, sematik dan linguistik sedemikian ekstensif, secara luas sehingga
dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi control sosial
(Tarigan, 2008: 16).
Menurut Mulgrave (Tarigan, 2008: 16)
mengungkapkan bahwa berbicara itu lebih daripada hanya sekedar pengucapan
bunyi-bunyi atau kata-kata. Berbicara adalah suatu alat untuk mengomunikasikan
gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
sang pegndengar atau penyimak. Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan
kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami
atau tidak, baik bahan pembicaraannya maupun para penyimaknya; apakah dia
bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia
mengomunikasikan gagasan-gagasannya; dan apakah dia waspada serta antusias atau
tidak.
Menurut Sidiarto (Zulkifli, 2009: 4)
Mengatakan bahwa bicara merupakan sesuatu yang khas pada manusia karena bicara
adalah suatu sistem komunikasi dimana seseorang mengutarkan pendapat dan
perasaan hati dan mengerti maksud seseorang melalui pendengar.
Ada beberapa pengertian berbicara :
1.
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau kata-kata untuk mengekpresikan, menyatakan serta menyampaikan
pikiran, gagasan dan perasaan.
2.
Berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan
gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
3. Berbicara
adalah proses individu berkomunikasi dengan lingkungan masyarakat untuk
menyatakan diri sebagai anggota masyarakat.
4.
Berbicara adalah ekspresi kreatif yang dapat
memanifestasikan kepribadiannya yang tidak sekedar alat mengkomunikasikan ide
belaka, tetapi juga alat utama untuk menciptakan dan memformulasikan ide baru.
5.
Berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari di
Iingkungan keluarga, tetangga dan lingkungan lainnya disekitar tempatnya hidup
sebelum masuk sekolah (http://putrychan.wordpress.com/2009/06/18/dasar-dasar-berbicara/).
Jadi, pada hakikatnya
berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk
bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata
untuk mengekspresikan pikiran, gagasan dan perasaan. Pendengar menerima pesan
atau informasi melalui rangkaian nada, tekanan dan penempatan persendian. Jika
komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara itu dapat dibantu dengan
mimik dan pantomimik pembicara.
Kemampuan berbicara
merupakan tuntutan utama yang harus dikuasai oleh seorang guru. Jika seorang
guru menuntut siswanya dapat berbicara dengan baik, maka guru harus memberi
contoh berbicara yang baik hal ini menunjukkan bahwa di samping menguasai teori
berbicara juga terampil berbicara dalam kehidupan nyata.
Sehubungan dengan keterampilan berbicara secara
garis besar jenis situasi berbicara yaitu:
a. Interaktif, misalnya percakapan secara
tatap muka dan berbicara lewat telpon yang memungkinkan adanya pergantian antara
berbicara dan mendengarkan dan juga memungkinkan kita meminta klarifikasi,
pengulangan atau kita dapat meminta lawan bicara memperlambat tempo bicara dari
lawan bicara.
b. Semiinteraktif, misalnya dalam berpidato
di hadapan umum secara langsung. Dalam situasi ini audiens memang tidak dapat
melakukan interupsi terhadap pembicaraan namun pembicara dapat melihat reaksi
pendengar dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka.
c. Noninteraktif, misalnya berpidato melalui
radio atau televisi.
Berikut ini beberapa keterampilan mikro yang harus
dimiliki dalam berbicara, yang mana pembicara harus dapat:
a. Mengucapkan bunyi-bunyi yang berbeda
secara jelas sehingga pendengar dapat membedakannya.
b. Menggunakan tekanan dan nada serta
intonasi secara jelas dan tepat sehingga pendengar dapat memahami apa yang diucapkan
pembicara.
c. Menggunakan bentuk-bentuk kata urutan kata
serta pilihan kata yang tepat.
d. Menggunakan register atau ragam bahasa
yang sesuai terhadap situasi komunikasi termasuk sesuai ditinjau hubungan
antara pembaca dan pendengar.
e. Berupaya agar kalimat-kalimat utama (the nain santence constituents) jelas
bagi pendengar.
f. Berupaya mengemukakan ide-ide atau
informasi tambahan guna menjelaskan ide-ide utama.
g. Berupaya agar wacana berpautan secara serasi sehingga
sehingga pendengar mudah mengikuti pembicaraan (http://www.sil.org/lingualinks).
B. Tujuan Berbicara
Secara garis besar, tujuan berbicara
dapat dibedakan atas empat golongan, yakni :
1.
Menghibur
Berbicara menghibur biasanya bersuasana santai, rileks
dan kocak. Soal pesan bukanlah tujuan utama. Namun bukan berarti berbicara
menghibur tidak dapat membawakan pesan. Dalam berbicara menghibur tersebut
pembicara berusaha mambuat pendengarnya senang gembira dan bersuka ria. Contoh
jenis berbicara menghibur ini, antara lain : lawakan, guyonan dalam ludruk,
srimulat, cerita Kabayan, cerita Abu Nawas.
2.
Menginformasikan
Berbicara menginformasikan bersuasana serius, tertib
dan hening. Soal pesan merupakan pusat perhatian, baik pembicara maupun
pendengar. Dalam pembicara menginformasikan pembicara berusaha berbicara jelas,
sistematis dan tepat isi agar informasi benar-benar terjaga keakuratannya.
Pendengar pun biasanya berusaha menangkap informasi yang disampaikan dengan
segala kesungguhan.
3.
Menstimulasi
Berbicara menstimulasi bersuasana serius, kadang-kadang
terasa kaku. Pembicara berkedudukan lebih tinggi dari pendengarnya. Dalam
berbicara menstimulasi, pembicara berusaha membangkitkan semangat pendengarnya
sehingga pendengar itu bekerja lebih tekun, berbuat baik, bertingkah laku sopan
dan belajar lebih berkesinambungan. Pembicara biasanya dilandasi oleh rasa
kasih sayang, kebutuhan, kemauan, harapan dan inspirasi pendengar. Beberapa
contoh berbicara menstimulasi tersebut, antara lain : Nasehat guru terhadap
siswa yang malas, pengajaran ayah kepada anaknya yang kurang senonoh, nasehat
dokter kepada pasiennya, nasehat atasan kepada karyawan yang malas, nasehat Ibu
kepada putrinya yang patah hati, nasehat ibu agar anak rajin belajar, nasehat
ayah kepada anak supaya hidup hemat.
4.
Menyakinkan
Berbicara menyakinkan bertujuan menyakinkan
pendengarnya. Bersuasana serius, mencekam dan menegangkan. Melalui keterampilan
berbicara, pembicara berusaha mengubah sikap pendengarnya dari tidak setuju
menjadi setuju, dari tidak simpati menjadi simpati dan sebagainya.
Dalam berbicara menyakinkan itu, pembicara harus
melandaskan pembicaraannya kepada argumentasi yang nalar, logis, masuk akal dan
dapat dipertanggungjawabkan dari segala segi. (http://datarental.blogspot.com/2008/04/berbicara.html).
C. Manfaat Berbicara
Beberapa manfaat
dapat dikemukakan melalui butir-butir sebagai berikut:
(1)
Memperlancar komunikasi antar sesama.
(2)
Mempermudah pemberian berbagai informasi.
(3)
Meningkatkan kepercayaan diri.
(4)
Mempertinggi dukungan publik atau masyarakat.
(5)
Menjadi penunjang meraih profesi dan pekerjaan.
(6)
Meningkatkan mutu profesi dan pekerjaan (Zulkifli, 2008: 11-17).
D. Jenis - Jenis Berbicara
Bila diperhatikan
mengenai bahasa pengajaran akan kita dapatkan berbagai jenis berbicara. Antara
lain : diskusi, percakapan, pidato menjelaskan, pidato menghibur, ceramah dan
sebagainya.
Berdasarkan pengamatan minimal ada
lima landasan yang digunakan dalam mengklasifikasi berbicara. Kelima landasan
tersebut adalah :
a.
Situasi
Aktivitas berbicara terjadi dalam suasana, situasi dan lingkungan
tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau resmi, mungkin
pula bersifat informal atau tak resmi. Dalam situasi formal pembicara dituntut
berbicara secara formal, sebaliknya dalam situasi tak formal, pembicara harus
berbicara secara tak formal pula. Kegiatan berbicara yang bersifat informal
banyak dilakukan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Jenis-jenis kegiatan berbicara
informal meliputi:
1) Tukar pengalaman.
2) Percakapan.
3) Menyampaikan berita.
4) Menyampaikan pengumuman.
5) Bertelepon, dan
6) Memberi petunjuk.
Sedangkan kegiatan berbicara yang
bersifat formal meliputi :
1) Ceramah.
2) Perencanaan dan penilaian.
3) Interview.
4) Prosedur parlementer, dan
5) Bercerita.
b.
Tujuan
Akhir pembicaraan, pembicara menginginkan
respons dari pendengar. Pada umumnya tujuan orang berbicara adalah untuk
menghibur, menginformasikan, menstimulasikan, meyakinkan, atau menggerakkan
pendengarnya.
c.
Metode penyampaian
Ada empat cara yang bisa digunakan
orang dalam menyampaikan pembicaraannya, antara lain:
1) Penyampaian secara mendadak,
2) Penyampaian berdasarkan catatan
kecil,
3) Penyampaian berdasarkan hafalan,
dan
4) Penyampaian berdasarkan naskah.
d.
Jumlah penyimak
Komunikasi lisan melibatkan dua
pihak, pendengar dan pembicara. Jumlah peserta yang berfungsi sebagai penyimak
dalam komunikasi lisan dapat bervariasi misalnya satu orang saja atau beberapa
orang dalam (kelompok kecil) dan banyak orang dalam (kelompok besar).
e.
Peristiwa khusus
Kehidupan sehari-hari, manusia sering
menghadapi berbagai kegiatan. Sebagian dari kegiatan itu dikategorikan sebagai
peristiwa khusus, istimewa, atau spesifik. Contoh kegiatan khusus itu adalah
ulang tahun, perpisahan, perkenalan, pemberian hadiah. Berdasarkan peristiwa
khusus itu berbicara atau berpidato dapat digolongkan atas enam jenis, yaitu:
1) Pidato
presentasi,
2) Pidato penyambutan,
3) Pidato perpisahan,
4) Pidato jamuan, (makan malam),
5) Pidato perkenalan, dan
6) Pidato nominasi (mengunggulkan).
E. Pembelajaran Keteramplan Berbicara di SD
Kelas V Semester II Berdasarkan KTSP
a.
Standar Kompetensi
Mengungkapkan pikiran dan perasaaan secara lisan dalam
diskusi dan bermain drama.
b.
Kompetensi Dasar
Memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi dan ekspresi
yang tepat (Kusmayadi & Pamungkas, 2006: xi).
F. Langkah – Langkah Pembelajaran Berbicara di
SD
Proses
pembelajaran berbicara menurut Ahmad Rofi’uddin, dengan berbagai jenis
kegiatan, yaitu :
1.
Percakapan
Adapun langkah-langkah dalam
melakukan percakapan sebagai berikut :
a.
Memulai percakapan,
b.
Menjaga berlangsungnya percakapan,
c.
Mengakhiri percakapan.
2.
Berbicara Estetik (mendongeng)
a.
Memilih cerita,
b.
Menyiapkan diri untuk bercerita,
c.
Menambahkan barang-barang yang diperlukan,
d.
Berbicara atau mendongeng.
3.
Berbicara untuk menyampaikan informasi atau
mempengaruhi, yang tidak termasuk kegiatan ini adalah :
a.
Melaporkan informasi secara lisan,
b.
Melakukan wawancara,
c.
Berdebat.
4.
Kegiatan Dramatik
Bermain drama merupakan media bagi
murid-murid untuk menggunakan bahasa verbal dan non verbal dalam konteks yang
bermakna. Kegiatan drama memberikan pengalaman belajar secara aktif dan
memadukan empat keterampilan berbahasa (khususnya apabila anak-anak diminta
mengarang sendiri naskah drama yang akan dimainkan).
Guru yang berpengalaman dan kreatif rasanya
tidak akan mengalami kesulitan dalam memilih strategi yang tepat untuk
melaksanakan tugas itu. Agar strategi yang dipilih dan diterapkan dapat
mencapai sasarannya perlu diperhatikan beberapa prinsip yang melandasi
pembelajaran berbahasa lisan atau berbicara tersebut:
1.
Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus memiliki
tujuan yang jelas yang diketahui oleh
guru dan siswa.
2.
Pengajaran keterampilan berbahasa lisan dari yang
sederhana ke yang lebih kompleks, sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa
siswa.
3.
Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mampu
menumbuhkan partisipasi aktif terbuka pada diri siswa.
4.
Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus
benar-benar mengajar bukan menguji. Artinya, skor yang diperoleh siswa harus
dipandang sebagai balikan guru.
Agar pembelajaran
berbahasa lisan memperoleh hasil yang baik, strategi pembelajaran yang
digunakan guru harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.
Relevan dengan tujuan pembelajaran.
2.
Menantang dan merangsang siswa untuk belajar.
3.
Mengembangkan kreativitas siswa secara individual
ataupun kelompok.
4.
Memudahkan siswa memahami materi pelajaran.
5.
Mengarahkan aktivitas belajar siswa kepada tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.
6.
Mudah diterapkan dan tidak menuntut disediakannya
peralatan yang rumit.
7.
Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan
(Hairuddin, 2007: 3.6 - 3.13).
Sesuai
dengan KTSP untuk SD beberapa strategi berbahasa lisan yaitu
1.
Menjawab pertanyaan,
2.
Bermain tebak-tebakan,
3.
Memberi petunjuk,
4.
Identifikasi kalimat topik,
5.
Main peran,
6.
Bercerita,
7.
Dramatisasi.
8. Model-Model Pembelajaran
Peraturaan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Bab I
pasal 1 Ayat 6 menyatakan standar proses pendidikan adalah standar nasional
pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan
pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan (Aminudin, 2011:
25).
Guru dituntut harus memiliki profesionalitas
tinggi dan di dalam implementasi standar proses pendidikan, guru merupakan
komponen yang sangat penting, sebab guru merupakan ujung tombak pelaksana
teknis di sekolah-sekolah. Oleh karena itulah upaya peningkatan kualitas
pendidikan seharusnya dimulai dari peningkatan kemampuan dan keterampilan guru.
Salah satu kemampuan dan keterampilan yang harus dimiliki guru adalah bagaimana
merancang dan melaksanakan suatu strategi dan model pembelajaran yang sesuai
dengan tujuan atau kompetensi yang akan dicapai.
Model pembelajaran adalah suatu pola yang digunakan sebagai pedoman
dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam setting,
tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya
buku-buku, film, komputer dan lain-lain, model pembelajaran mengacu pada
pendekatan pembelajaran termasuk di dalamnya tujuan pembelajaran, tahap-tahap
kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas. Saripuddin
dalam Abbas mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang
menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengkoordinasikan pengalaman
belajar untuk memcapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman
bagi perancang dan para belajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
belajar-mengajar (Aminudin, 2011: 26).
Berdasarkan beberapa definisi di atas
dapat kita simpulkan, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang
menggambarkan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar, yang berfungsi sebagai pedoman guru dalam
merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengelola lingkungan
pembelajaran dan mengelola kelas.
Herbert Simon Dick dan carey mengartikan
desain sebagai proses pemecah masalah. Tujuan sebuah desain adalah untuk
mencapai solusi terbaik dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan sejumlah
informasi yang tersedia, dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran
diperlukan perangkat pembelajaran yang dapat disusun dan dikembangkan oleh guru
(Aminudin, 2011: 18).
Menurut Arends Abbas dalam Aminudin (2011:
26-27) model pembelajaran terdiri dari model pembelajaran langsung (direct
instruction), model pembelajaran kooperatif (cooperative learning),
model pembelajaran berbasis masalah (problem based instruction), model
pembelajaran diskusi (discussion) dan model pembelajaran strategi (strategi
learning).
9.
Pendekatan
Pembelajaran Kooperatif
A. Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Kooperatif
Pendekatan adalah
seperangkat asumsi yang saling berkaitan, pendekatan pembelajaran dapat
diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalam mewadahi, menginspirasi, meguatkan dan
melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu. Dilihat dari
pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan.
1.
Pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach).
2.
Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau terpusat
pada guru (teacher centered approach) (http://akhmadsudrajat.wordpress. com/2011/09/12).
Pendekatan adalah suatu
usaha dalam aktivitas kajian, atau interaksi, relasi dalam suasana tertentu,
dengan individu atau kelompok melalui penggunaan metode-metode tertentu secara
efektif (http://wayanabadi.blogspot.com 05/04/2011).
Slavin (dalam Isjoni,
2009: 15) mengemukakan “In cooperative
learning methods, students work together in four member team to master material
initially presented by the teacher”. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan
bahwa cooperative learning adalah suatu
model pembelajaran dimana dalam sistem belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4–6 orang secara kolaboratif sehingga
dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar (Taniredja, dkk 2011: 55).
Menurut pendapat Lie,A. bahwa
model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok.
Ada unsur-unsur dalam pembelajaran cooperative learning yang membedakan dengan
pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model
cooperative learning dengan benar-benar akan memungkinkan pendidik mengelola
kelas lebih efektif (Taniredja, dkk 2011:56).
B. Tipologi Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin (2008:
26–28) ada enam tipologi pembelajaran kooperatif, yaitu:
1.
Tujuan kelompok, bahwa kebanyakan metode pembelajaran
kooperatif menggunakan beberapa bentuk tujuan kelompok. Dalam metode
pembelajaran tim siswa, ini bisa berupa sertifikat atau rekognisi lainnya yang
diberikan kepada tim yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.
2.
Tanggung jawab individu, yang dilaksanakan dengan dua
cara. Pertama menjumlah skor kelompok atau nilai rata-rata individu atau
penilaian lainnya, seperti dalam model pembelajaran siswa. Cara kedua ini siswa
diberi tanggung jawab khusus untuk sebagian tugas kelompok.
3.
Kesempatan sukses yang sama, yang merupakan
karakteristik unik metode pembelajaran tim siswa, yakni penggunaan skor yang
memastikan semua siswa mendapatkan kesempatan yamg sama untuk berkontribusi
dalam timnya.
4.
Kempetesi tim, sebagai sarana untuk memotivasi
bekerjasama dengan anggota timnya.
5.
Spesialisasi tugas, tugas untuk melaksanakan sub tugas
terhadap masing-masing anggota kelompok.
6.
Adaptasi terhadap kebutuhan kelompok, metode ini akan
mempercepat langkah kelompok.
C. Ciri-Ciri Pembelajaran Kooperatif
1)
Belajar bersama teman,
2)
Selama proses belajar mengajar terjadi tatap muka antar
teman,
3)
Saling mendengarkan pendapat diantara anggota kelompok,
4)
Belajar dari teman sendiri dalam kelompok,
5)
Belajar dalam kelompok kecil,
6)
Produktif bicara, atau saling mengemukakan pendapat,
7)
Siswa aktif.
D. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Menurut Depdiknas tujuan
pertama pembelajaran kooperatif yaitu
1.
Meningkatkan hasil akademik.
2.
Memberi peluang agar siswa dapat menerima
teman-temannya yang mempunyai berbagai perbedaan latar belakang.
3.
Mengembangkan keterampilan sosial siswa.
E. Prosedur Pembelajaran Kooperatif
1.
Orientasi
2.
Kerja kelompok
3.
Tes/Kuis
4.
Penghargaan kelompok (Taniredja, dkk. 2011: 60-63).
10.
Model Pembelajaran Role Playing
A. Pengertian Model Pembelajaran Role Playing
Peran (role) bisa diartikan sebagai
cara seseorang berperilaku dalam posisi dan situasi tertentu. Role play bisa
dipakai untuk murid segala usia. Bila role play digunakan pada anak-anak, maka
kerumitan situasi dalam peran harus diminimalisir. Tetapi bila kita tetap
memertahankan kesederhanaannya karena rentang perhatian mereka terbatas, maka
permainan peran juga bisa digunakan dalam mengajar anak-anak prasekolah. Menurut
Roetiyah dalam Khairullah (2011: 11) Role Playing adalah
dimana siswa bisa berperan atau memainkan peranan dalam dramatisasi
masalah sosial atau psikologis.
Menurut Zuhaerini dalam
Ratri (2008) model Role Playing ini digunakan apabila pelajaran dimaksudkan
untuk: (a) menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak
dan berdasarkan pertimbangan didaktik lebih baik didramatisasikan daripada
diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak; (b) melatih
anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial-psikologis;
dan (c) melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan
bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya. Sementara itu, Davies
dalam Zifana (2009) mengemukakan bahwa penggunaan role playing dapat membantu
siswa dalam mencapai tujuan-tujuan afektif (http://www.scribd.com/doc/32572137/6-Role-Playing).
Model Role
Playing disebut juga dengan model sosiodrama, sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan
tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial (Djamarah, dan Zain, 2006 : 100),
sedangkan menurut Yeti Mulyati main peran adalah simulasi tingkah laku dari orang yang diperankan.
Pembelajaran dengan role playing adalah
suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan
penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan siswa dengan
memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati (http://skripritha.blogspot.com/2010/06/laporan-observasi-model-role-playing.html).
Permainan peran (bahasa
Inggris: role-playing game disingkat RPG) adalah sebuah permainan
yang para pemainnya memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi
untuk merajut sebuah cerita bersama. Para pemain memilih aksi tokok-tokoh
mereka berdasarkan karakteristik tokoh tersebut dan keberhasilan aksi mereka
tergantung dari sistem peraturan permainan yang telah ditentukan. Asal tetap
mengikuti peraturan yang ditetapkan, para pemain bisa berimprovisasi membentuk
arah dan hasil akhir permainan ini. (http://id.wikipedia.org/wiki/Permainan _peran).
Role Playing atau bermain peran adalah
sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus
melibatkan unsur senang. Dalam Role Playing murid dikondisikan pada situasi
tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas.
Selain itu, Role Playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas
dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan
memainkan peran orang lain.
Model Role
Playing ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengalami berbagai perannya sebagai warga negara dan masyarakat atau peran sosialnya.
B. Tujuan Model Pembelajaran Role Playing
Tujuannya Role playing adalah (a) melatih
siswa untuk menghadapi situasi yang sebenarnya, (b) melatih praktik berbahasa
lisan secara intensif, (c) memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan kemampuannya berkomunikasi, (d) dapat menghargai perasaan orang lain, (e) dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab, (f)
merangsang kelas untuk berpikir dan
memecahkan masalah.
Di dalam model Role Playing ini memerlukan
perhatian yang berlebih agar situasi dapat kita kontrol dengan baik sesuai
keinginan sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Harapan dengan Role playing dapat
membantu siswa mengembangkan sikap dan nilai sebagai pribadi yang baik, maupun sebagai anggota dari masyarakat yang ada sekitarnya.
C. Pelaksanaan Role Playing
Penggunaan model
pembelajaran role-playing dimaksudkan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
telah direncanakan. Ada empat asumsi yang mendasari model ini memiliki
kedudukan yang sejajar dengan model-model pengajaran lainnya. Keempat asumsi
tersebut ialah
1.
Secara implisit bermain peran
mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan
dimensi “di sini dan kini” (here and now) sebagai isi pengajaran.
2.
Bermain peran memberikan
kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya
yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain.
3.
Model ini mengasumsikan bahwa
emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian
ditingkatkan melalui proses kelompok.
4.
Model mengajar ini mengasumsikan
bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert ) berupa sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-perasaan
dan system keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi
pemeranan secara spontan dan analisisnya.
Pembelajaran dengan model
role playing dilaksanakan menjadi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut: (1)
tahap memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran;(3) menyiapkan pengamat; (4)
menyiapkan tahap-tahap permainan peran; (5)pemeranan; (6) diskusi dan evaluasi;
(7) pemeranan ulang; (8) diskusi dan evaluasi kedua; (9) membagi pengalaman dan
menarik generalisasi.
Sintaks Model pembelajaran Role Playing menurut Taniredja dkk (2011: 107)
sebagai berikut :
1.
Guru
menyusun atau menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.
2.
Menunjuk
beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu
beberapa hari sebelum kbm.
3.
Membentuk
kelompok siswa yang anggotanya 5 orang.
4.
Memberikan
penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.
5.
Memanggil
para siswa yang sudah ditunjuk untuk
melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan.
6.
Masing-masing
siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.
7.
Setelah
selesai ditampilkan masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas
penampilan masing-masing kelompok.
8.
Masing-masing
kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.
9.
Guru
memberikan kesimpulan secara umum.
10. Evaluasi.
11. Penutup.
Dengan mengutip
dari Shaftel dan Shaftel, E. Mulyasa mengemukakan tahapan pembelajaran bermain
peran meliputi:
1.
Menghangatkan suasana dan
memotivasi peserta didik.
Menghangatkan suasana kelompok
termasuk mengantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu
dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah,
menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan
peran yang akan dimainkan.
Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta
didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam
bermain peran dan paling menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil
apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan
guru.
2.
Memilih peran
Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan
guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka,
bagaimana mereka merasakan dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para
peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran.
3.
Menyusun tahap-tahap peran
Menyusun tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran
menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak
perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan
berbicara secara spontan.
4. Menyiapkan pengamat
Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara
matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut
mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya.
5. Pemeranan
Pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara
spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Pemeranan dapat berhenti apabila
para peserta didik telah merasa cukup dan apa yang seharusnya mereka perankan
telah dicoba lakukan. Ada kalanya para peserta didik keasyikan bermain peran
sehingga tanpa disadari telah mamakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini
guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan.
6. Diskusi dan evaluasi
Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah
terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual.
Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing
untuk diskusi.
7. Pemeranan ulang
Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan
diskusi mengenai alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang
dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya
pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya.
8. Diskusi dan evaluasi tahap dua
Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada
tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis
hasil pemeranan ulang dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih
jelas.
9. Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan
Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan
pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan
sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan
(http://sharingkuliahku.wordpress.com/2011/11/21/ langkah-langkah-model-pembelajaran-role-playing-atau-bermain-peran/).
D. Prinsip-Prinsip Supaya Permainan
Peran Bisa Efektif
Sebagai
suatu teknik mengajar, permainan peran didasarkan pada filosofi bahwa
"makna ada pada orang-orang", bukan dalam kata-kata atau
simbol-simbol. Bila filosofi itu akurat, kita terlebih dahulu harus membagikan
makna, menjelaskan pemahaman kita atas setiap makna dan kemudian, bila perlu,
mengubah makna-makna kita. Dalam bahasa psikologi "phenomenologikal",
hal ini harus dilakukan dengan mengubah konsep diri. Konsep diri sangat tepat
bila diubah melalui keterlibatan langsung dalam suatu situasi masalah yang
realistis dan berhubungan dengan hidup daripada melalui apa yang didengar dari
orang lain tentang situasi-situasi itu. Menciptakan suasana mengajar yang bisa
membawa perubahan konsep diri membutuhkan pola pengaturan yang berbeda. Salah
satu struktur permainan peran yang mungkin bisa sangat membantu adalah sebagai
berikut :
1.
Persiapan
a.
Tentukan masalah
b.
Buat persiapan peran
c.
Bangun suasana
d.
Pilihlah tokohnya
e.
Jelaskan dan berikan pemanasan
f.
Pertimbangkan latihan.
2.
Memainkan Peran
a.
Memainkan
b.
Menghentikan
c.
Melibatkan penonton
d.
Menganalisa diskusi
e.
Mengevaluasi.
Bermain peran pada prinsipnya merupakan
pembelajaran untuk ‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke
dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian
dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian. Misalnya:
menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut dan kemudian
memberikan saran/alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut.
Pembelajaran ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam
‘pertunjukan’ dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran (http://blogs.itb.ac.id/djadja/2011/08/07/role-playing-kewirausahaan-mahasiswa-fbm-universitas-widyatama/).
E. Hal-Hal yang Dihadapi
dalam Role Playing
Permainan peran memenuhi
beberapa prinsip yang sangat mendasar dalam proses belajar mengajar, misalnya
keterlibatan murid dan motivasi yang hakiki. Suasana yang positif sering kali
menyebabkan seseorang bisa melihat dirinya sendiri seperti orang lain melihat
dirinya. Keterlibatan para peserta permainan peran bisa menciptakan baik
perlengkapan emosional maupun intelektual pada masalah yang dibahas. Bila
seorang guru yang terampil bisa dengan tepat menggabungkan masalah yang
dihadapi dengan kebutuhan dalam kelompok, maka kita bisa mengharapkan penyelesaian
dari masalah-masalah hidup yang realistis.
Permainan peran bisa pula menciptakan suatu rasa kebersamaan dalam kelas. Meskipun
pada awalnya permainan peran itu tampak tidak menyenangkan, namun ketika kelas
mulai belajar saling percaya dan belajar berkomitmen dalam proses belajar, maka
"sharing" mengenai analisa seputar situasi yang dimainkan akan membangun
persahabatan yang tidak ditemui dalam metode mengajar monolog seperti dalam
pelajaran. Kekurangan utama dari pengajaran melalui permainan peran ini adalah ketidakamanan
anggota kelas itu. Beberapa anak mungkin memberikan reaksi negatif http://www.scribd.com/doc/32572137/6-Role-Playing.
F. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Role Playing
1.
Kelebihan dari model pembelajaran Role Playing dalam
kegiatan pembelajaran:
a. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam
ingatan siswa. Disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang dan sukar untuk
dilupakan.
b. Sangat menarik bagi siswa, sehingga
memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias.
c. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme
dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial
yang tinggi.
d. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung
dengan mudah dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya
dengan penghayatan siswa sendiri.
e. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan
profesional siswa.
f. Melibatkan seluruh siswa dapat
berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam
bekerjasama.
g. Siswa bebas mengambil keputusan dan
berekspresi secara utuh.
h. Permainan merupakan penemuan yang
mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
i.
Guru
dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan
permainan.
j.
Permainan
merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.
k. Melatih daya imajinasi siswa (http://sharingkuliahku.wordpress.
com/ 2011/11/21/kelebihan-dari-model-pembelajaran-role-playing-dalam-kegiatan-pembelajaran/).
Kelebihan metode Role Playing secara rinci adalah siswa akan menjadi kreatif dan termotivasi, mengembangkan bakat anak terhadap seni
drama di sekolahnya, memahami
apa yang
akan diperankannya, berbahasa
lisan yang baik, melibatkan langsung para peserta didik dalam
pembelajaran, menerapkan pengetahuan pada pemecah masalah.
2.
Kelemahan
dari Model Pembelajaran Role Playing
a.
Sebagian anak yang tidak ikut bermain peran menjadi
kurang aktif.
b.
Terkadang banyak
memakan waktu.
c.
Memerlukan
tempat yang cukup luas.
d.
Menggangu kelas
lain karena bertepuk tangan.
(http://skripritha.blogspot.com/2010/06/laporan-observasi-model-role-playing.html).
B. Kerangka Berpikir
Berbicara merupakan salah satu aspek
keterampilan berbahasa yang juga merupakan suatu sasaran pembelajaran bahasa
Indonesia. Keterampilan berbicara dapat meningkat jika ditunjang oleh
keterampilan berbahasa yang lain, yaitu
menyimak, membaca, dan menulis (Suyoto dalam Sri Marni 2011: 14)
Keberhasilan proses belajar mengajar di kelas ditentukan oleh
berbagai faktor yang tentunya saling berkaitan satu sama lain. Diantara berbagai
faktor tersebut salah satu faktor yang signifikan mempengaruhi
faktor tersebut adalah model atau metode pembelajaran yang
digunakan.
Pembelajaran kooperatif menciptakan situasi dimana keberhasilan individu
ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya. Model
pembelajaran Role Playing merupakan model yang tepat digunakan untuk
meningkatkan hasil belajar dan proses pembelajaran di kelas. Model ini juga dapat
memberikan ruang kepada siswa untuk belajar berinteraksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu
dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal
dan model ini dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang
menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya
pengalaman serta pembelajaran akan menjadi lebih bermakna.
C. Hipotesis
Tindakan
Hipotesis dalam penelitian tindakan kelas ini
dapat dirumuskan sebagai berikut: : “Hasil belajar siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin dalam
menguasai mata pelajaran bahasa Indonesia materi keterampilan berbicara dapat
ditingkatkan apabila pembelajaran menggunakan pendekatan kooperatif tipe Role
Playing.”
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Wardhani
(2007: 1.4) menyatakan Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian yang
dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan
tujuan untuk memperbaikinya kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar
siswa menjadi meningkat.
Santyasa
berpendapat bahwa bahwa PTK dapat memberikan manfaat sebagai inovasi pendidikan
yang tumbuh dari bawah, karena Guru adalah ujung tombak pelaksana lapangan.
Dengan PTK Guru menjadi lebih mandiri yang ditopang oleh rasa percaya diri,
sehingga secara keilmuan menjadi lebih berani mengambil prakarsa yang patut
diduganya dapat memberikan manfaat perbaikan. Rasa percaya diri tersebut tumbuh
sebagai akibat guru semakin banyak mengembangkan sendiri pengetahuannya
berdasarkan pengalaman praktis. Dengan secara kontinu melakukan PTK, guru
sebagai pekerja profesional tidak akan cepat berpuas diri lalu diam di zona
nyaman, melainkan selalu memiliki komitmen
untuk meraih hari esok lebih baik dari hari sekarang. Dorongan ini
muncul dari rasa kepedulian untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam
kesehariannya (Aminudin, 2011: 40).
Manfaat
lainnya, bahwa hasil PTK dapat dijadikan sumber masukan dalam rangka melakukan
pengembangan kurikulum sekolah dasar.
Menurut
Kunandar dalam Marni (2011:16) PTK memiliki peranan sangat penting dan
strategis untuk meningkatkan mutu pembelajaran apabila diimplementasikan dengan
baik dan benar.
Proses
pengembangan kurikulum tidak bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh
gagasan-gagasan yang saling terkait mengenai hakikat pendidikan, pengetahuan
dan pembelajaran yang dihayati oleh guru di lapangan.
Suharsimi,
Suhardjono dan Supardi (2006) Penelitian tindakan kelas merupakan suatu upaya untuk
mencermati kegiatan belajar yang dilakukan sekelompok peserta didik dengan
memberikan sebuah tindakan (treatmen) yang sengaja dimunculkan. Tindakan
tersebut dilakukan oleh guru bersama dengan peserta didik atau oleh peserta
didik dibawah bimbingan dan arahan guru dengan maksud untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas pembelajaran.
PTK
adalah penelitian yang dilakukan oleh guru dikelasnya sendiri melalui refleksi
diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja sehingga hasil belajar siswa
meningkat (Aqib, 2008: 3).
(Djunaidy
Ghony, 2008: 28) Tujuan PTK dilaksanakan
demi perbaikan dan peningkatan praktik pembelajaran secara berkesinambungan
yang pada dasarnya melekat pada terlaksananya misi professional pendidikan yang
diemban guru.
Penelitian
ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dalam PTK ini
peneliti terlibat langsung di dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan
hasil penelitian yang berupa laporan. Sedangkan jenis penelitian adalah
penelitian 2 siklus yang bertujuan meningkatkan keterampilan anak dalam
berbicara melalui pendekatan/ model kooperatif tipe Role Playing.
Suharsimi
Arikunto (2010: 16-20) ada beberapa ahli yang mengemukakan model penelitian
tindakan kelas dengan bagan yang berbeda, namun secara garis besar terdapat
empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3)
pengamatan, dan (4) refleksi. Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing
tahap dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
1. Alur Kegiatan dalam Siklus PTK
Suharsimi
Arikunto (2010: 17-20 juga mengemukakan tentang tahap-tahap lazim yang dibagi
empat tahap yaitu:
1.
Perencanaan Tindakan (Planning)
Rencana merupakan tahapan awal yang harus dilakukan guru
sebelum melakukan sesuatu. dengan perencanaan yang baik seorang praktisi akan
lebih mudah untuk mengatasi kesulitan dan mendorong para praktisi tersebut
untuk bertindak dengan lebih efektif.
Dalam tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa,
kapan, di mana oleh siapa dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Penelitian
tindakan yang idealnya dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan
tindakan dan pihak yang mengamati proses jalannya tindakan. Cara ini dikatakan
ideal karena adanya upaya untuk mengurangi unsur subjektivitas pengamat serta
mutu kecermatan yang dilakukan. Dengan mudah dapat diterima bahwa pengamatan
yang dilakukan terhadap hal-hal yang berada di luar diri, karena adanya unsur
subjektivitas yang berpengaruh, yaitu cenderung mengunggulkan dirinya. Apabila
pengamatan dilakukan oleh orang lain, pengamatannya lebih cermat dan hasilnya
akan lebih objektif.
2.
Pelaksanaan Tindakan
Tahap ke-2 dari penelitian tindakan kelas yang perlu diingat adalah berusaha menaati apa yang
sudah dirumuskan dalam rancangan
penelitian, sesuai dengan alur kegiatan dalam siklus PTK Suharsimi Arikunto maka pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan dua siklus,
masing-masing siklus terdiri dari dua kali pertemuan, satu kali pertemuan dua jam pelajaran. Tindakan ini merupakan bagian dari perencanaan yang telah
dibuat yang dapat untuk penyempurnaan
pelaksanaan kegiatan penelitian.
3.
Pengamatan Tindakan (Observasi)
Tahap ke-3, yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan
pengamat. Sebetulnya sedikit kurang tepat kalau pengamatan ini dipisahkan
dengan pelaksanaan tindakan seharusnya pengamatan dilakukan pada waktu tindakan
sedang dilakukan. Sebutan tahap ke-2 diberikan untuk memberikan peluang kepada
pelaksana yang juga berstatus pengamat. Ketika guru tersebut sedang melakukan
tindakan, karena hatinya menyatu dengan kegiatan, tentu tidak sempat
menganalisis peristiwanya ketika sedang terjadi.
Pengamatan ini berfungsi untuk melihat dan mendukomentasikan
pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh tindakan dalam kelas. Hasil pengamatan
merupakan dasar dilakukannya refleksi sehingga pengamatan yang dilakukan harus
dapat menceritakan keadaan yang sesungguhnya dalam pengamatannya, hal-hal yang
perlu dicatat oleh peneliti
adalah data perkembangan dan tingkat
keberhasilan guru dan anak.
4.
Refleksi terhadap tindakan
Refleksi di sini meliputi kegiatan analisis, sintesis, penafsiran
(penginterpretasi), menjelaskan dan menyimpulkan. Hasil dari refleksi adalah diadakannya
revisi terhadap perencanaan yang telah
dilaksanakan, yang akan dipergunakan unuk memperbaiki kinerja guru pada pertemuan
selanjutnya. Dengan demikian, penelitian tindakan kelas tidak dapat dilaksanakan dalam sekali pertemuan,
karena hasil refleksi membutuhkan
waktu untuk melakukannya
sebagai planning untuk siklus selanjutnya.
B.
Setting
Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada mata
pelajaran bahasa Indonesia mengenai materi
keterampilan berbicara menggunakan
pendekatan pembelajaran kooperatif tipe Role Playing. Tempat yang dijadikan objek penelitian
adalah SDN Kuin Selatan 5
Banjarmasin Tahun Ajaran 2011/2012 pada semester genap. Adapun subjek penelitian adalah guru dan siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin. Siswa kelas V SDN Kuin
Selatan 5 Banjarmasin ini berjumlah
26 siswa terdiri dari 17 siswa laki-laki dan 9 siswa perempuan.
Pada semester 1 yang lalu Tahun Ajaran 2011/2012 hasil
belajar siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5
Banjarmasin dalam pembelajaran bahasa Indonesia materi keterampilan
berbicara masih rendah dan lemah, ini terlihat dari hanya 33% siswa yang tuntas
belajar memenuhi KKM yang telah diterapkan sekolah yaitu 70, sedangkan sisanya
67% siswa berada dibawah KKM yang telah diterapkan sekolah tersebut.
Berdasarkan permasalahan di atas, Penelitian ini dilaksanakan
dengan alasan agar dapat
mengoptimalkan proses dan hasil belajar siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran kooperatif tipe role playing, penelitian ini juga akan
memanfaatkan sumber referensi buku teks seperti buku paket bahasa Indonesia
kelas V Sekolah Dasar juga buku penunjang pelajaran berdasarkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk sekolah dasar dan rujukan dari internet.
Selain itu penelitian juga memanfaatkan media pembelajaran seperti media
gambar, teks drama, topi penghargaan dan juga faktor penunjang pelajaran
keterampilan berbicara lainnya.
C.
Faktor
yang Diteliti
Untuk dapat mengatasi permasalahan di atas ada beberapa faktor
yang perlu diselidiki, yaitu :
1.
Faktor Guru
Pengamatan (observasi) terhadap aktivitas yang
dilakukan guru pada saat pembelajaran
berlangsung dengan menerapkan pendekatan kooperatif tipe Role Playing pada pembelajaran
bahasa Indonesia materi keterampilan berbicara.
2.
Faktor Siswa
Dengan melihat dan mengamati proses dalam pembelajaran melalui respon
siswa dan aktivitas siswa dalam belajar, baik dalam kerja kelompok ataupun
kinerja siswa secara individual pada pembelajaran bahasa Indonesia materi keterampilan dalam berbicara melalui pendekatan kooperatif tipe Role
Playing.
3.
Faktor Hasil Belajar
Mengetahui peningkatan hasil belajar keterampilan berbicara siswa mata
pelajaran bahasa Indonesia setelah melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan kooperatif tipe Role Playing.
D. Skenario Tindakan
Tahap-tahap dalam penelitian ini dilaksanakan sebanyak 2 siklus
dan setiap siklus dilaksanakan 2 pertemuan. Tahapan-tahapan yang dilakukan
sebagai berikut:
a)
Tahap perencanaan
Guru yang baik
akan berusaha sedapat mungkin agar pengajarannya berhasil. Salah satu faktor
yang bisa membawa keberhasilan itu, ialah guru tersebut senantiasa membuat perencanaan mengajar
sebelumnya.
Pada garis
besarnya, perencanaan mengajar berfungsi sebagai berikut:
1. Memberi
guru pemahaman yang jelas tentang tujuan pendidikan sekolah dan hubungannya
dengan pengajaran yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan itu.
2. Membantu
guru memperjelas pemikiran tentang sumbangan pengajaran terhadap pencapaian
tujuan pendidikan.
3. Menambah
keyakinan guru atas nilai-nilai pengajaran yang diberikan dan prosedur yang
dipergunakan.
4. Membantu
guru dalam rangka mengenal kebutuhan-kebutuhan murid, minat-minat murid dan
mendorong motivasi belajar.
5. Mengurangi
kegiatan yang bersifat trial dan error dalam mengajar dengan adanya
organisasi kurikuler yang lebih baik, metode yang tepat dan menghemat waktu.
6. Murid-murid
akan menghormati guru yang sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk mengajar
sesuai dengan harapan-harapan mereka.
7. Memberikan
kesempatan kepada guru-guru untuk memajukan pribadinya dan perkembangan
profesionalnya.
8. Membantu
guru memiliki kepercayaan pada diri sendiri dan jaminan atas diri sendiri.
9. Membantu
guru memelihara kegairahan mengajar dan senantiasa memberikan bahan-bahan yang up to date kepada murid (Hamalik dalam
Jailani 2011: 75)
Tindakan
yang dilakukan dalam tahap perencanaan ini adalah sebagai berikut:
1.
Peneliti melakukan pengamatan sebelumnya pada setiap
pembelajaran bahasa Indonesia untuk mengumpulkan data berkaitan dengan
permasalahan yang ada yang ada khususnya yang berkaitan dengan keterampilan
berbicara.
2.
Mengkaji dan mencermati silabus kelas V semester II
dengan baik kemudian membuat RPP beserta media yang akan digunakan pada
pembelajaran bahasa Indonesia materi keterampilan berbicara dengan
menggunakan pendekatan kooperatif tipe Role Playing.
3.
Menyiapkan lembar observasi untuk mengamati aktivitas
guru, aktivitas siswa dan hasil belajar.
4.
Membuat kriteria penilaian.
5.
Membuat alat evaluasi untuk mengukur peningkatan
keterampilan berbicara melalui dialog atau percakapan.
b)
Tahap pelaksanaan
Guru mempraktikan
pembelajaran yang sesuai dengan RPP dalam kelas sesungguhnya dengan menggunakan
pendekatan kooperatif tipe Role Playing.
Langkah-langkah Role Playing dalam
pelaksanaan tindakan kegiatan yang akan dilakukan oleh guru sebagai berikut :
1.
Guru
menyusun atau menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.
2. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari
skenario dalam waktu beberapa hari sebelum kbm.
3. Membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5
orang.
4. Memberikan penjelasan tentang kompetensi
yang ingin dicapai.
5. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk
untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan.
6. Masing-masing siswa berada di kelompoknya
sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.
7. Setelah selesai ditampilkan, masing-masing siswa diberikan lembar
kerja untuk membahas penampilan masing-masing kelompok.
8. Masing-masing
kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya
9. Guru
memberikan kesimpilan secara umum.
10. Evaluasi.
11. Penutup.
c)
Pengamatan
Pada tahap ini dilakukan observasi atau pengamatan dalam
proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar observasi meliputi:
a.
Observasi
kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dilakukan oleh observer
b. Observasi
aktivitas siswa
c.
Observasi aktivitas dalam belajar kelompok
d.
Observasi
hasil belajar keterampilan berbicara siswa
d)
Refleksi
Hasil
yang dicapai dalam tahap observasi dikumpulkan serta dianalisis begitu juga
hasil evaluasinya. Dari hasil data dapat merefleksi diri untuk kegiatan
tindakan kelas siklus berikutnya.
E.
Data dan Cara Pengumpulan Data
1.
Sumber data penelitian ini adalah guru dan siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5 Banjarmasin semester genap. Data
diperoleh dari penelitian tindakan kelas yang dilakukan peneliti kepada
siswa-siswa kelas V SDN Kuin Selatan
5 Banjarmasin yang berjumlah 26 siswa, terdiri dari 17 orang siswa laki-laki dan 9 orang siswa perempuan.
2.
Jenis data yang didapatkan adalah data kuantitatif dan
data kualitatif.
a. Data
kuantitatif adalah data tentang hasil belajar siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5
Banjarmasin pada mata pelajaran bahasa Indonesia materi keterampilan berbicara.
b. Data
kualitatif adalah data tentang aktivitas guru dan siswa dalam kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe Role Playing mata pelajaran bahasa Indonesia materi keterampilan
berbicara.
3.
Cara Pengumpulan Data
a.
Observasi
Menurut Riyanto (2001: 96) observasi adalah mengadakan
pengamatan secara langsung (tanpa alat) terhadap gejala-gejala subjek yang
diteliti, baik pengamatan itu dilakukan di dalam situasi sebenarnya maupan
dilakukan dalam situasi buatan yang khusus diadakan (www.dedenbinlaode.web.id/2010/11/pengaruh-metode-role-playing-terhadap.html)
1. Data
kuantitatif adalah data tentang hasil belajar siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5
Banjarmasin pada mata pelajaran bahasa Indonesia materi keterampilan berbicara
menggunakan lembar observasi hasil belajar keterampilan berbicara siswa diambil
pada saat siswa bermain peran.
2. Data
kualitatif adalah data tentang aktivitas guru dan siswa dalam kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe Role Playing mata pelajaran bahasa Indonesia materi keterampilan
berbicara menggunakan lembar observasi aktivitas guru dan siswa baik individu
maupun kelompok diambil pada saat pembelajaran berlangsung.
Analisa ketuntasan belajar adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Analisa Ketuntasan Belajar
Ketuntasan
Individu = Jumlah Skor : Skor Nilai maksimal x 100
|
Ketuntasan Klasikal =
Jumlah Siswa yang Tuntas : Jumlah Siswa x 100
|
Depdiknas (2006).
Data kualitatif yaitu observasi guru dan siswa dalam
pembelajaran dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel persentasi.
Sedangkan data kuantitatif yaitu hasil belajar siswa dianalisis dengan teknik
persentasi dan ketuntasan belajar.
Data ini diolah dengan
rumus:
a. Daya
serap perseorangan
Seorang siswa disebut tuntas belajar bila mencapai skor 70 (Tim Pustaka Yustisia, 2007
).
Jumlah skor
Ketuntasan individual = x 100
%
Jumlah skor maksimal
b.
Daya serap klasikal
Suatu
kelas disebut tuntas belajar apabila
mencapai 80%.
Jumlah siswa yang tuntas
belajar
Ketuntasan
Klasikal =
x 100%
Jumlah siswa keseluruhan
F.
Indikator Keberhasilan Tindakan Kelas
Indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah
apabila adanya peningkatan hasil prestasi belajar siswa dalam proses belajar bahasa Indonesia di kelas V SDN Kuin
Selatan 5 Banjarmasin.
1. Daya
serap perseorangan disebut telah tuntas belajar tentang keterampilan berbicara setelah melakukan
kegiatan evaluasi akhir mencapai kualifikasi baik berdasarkan tes akhir yaitu
mencapai nilai 70.
2. Daya
serap klasikal apabila yang tuntas belajar mencapai 80% dari seluruh siswa.
Bismillah... thanks yach atas infox, semoga dapat bermanfaat yg tak hanya untuk satu orang tapi dapat bermanfaat bagi semua orang... :)
BalasHapus